
Horst Liebner adalah seorang periset independen yang mempelajari tradisi maritim dan sejarah Asia Tenggara Kepulauan.
Pada tahun 1994, penelitiannya tentang pembuatan kapal Sulawesi memperoleh gelar M.A. di Universitas Keulen, Jerman; sejak itu Liebner bekerja sebagai peneliti dan dosen di berbagai universitas dan lembaga pemerintah di Indonesia. Dari tahun 2004-2009, ia atas nama Pemerintah Indonesia ditunjuk sebagai penasehat pada pengangkatan sejumlah kapal karam yang ditemukan di perairan Indonesia, termasuk bangkai kapal Nanhan/Cirebon abad ke-10 tempat yang menjadi topik tesis PhD-nya di Universitas Leeds, Inggris (2014). Saat ini ia antara lain kembali terlibat dalam pendokumentasian dan pelestarian tradisi pembuatan kapal Sulawesi, yang pada tahun 2017 tercatat dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO, dengan, misalnya, mengarang situs web www.pinisi.org dan mengawasi pembangunan replika kapal dagang Makassar abad ke-19 untuk pameran dan ekspedisi.
Ada pun beberapa catatan atas apa yang dapat Anda harapkan dari saya. Yang pertama: Hype Jalur Rempah akhir-akhir ini agak jauh dari kenyataan historis dan kontemporer. Volume produksi rempah-rempah Maluku yang sampai akhir abad ke-18 tidak melebihi 600t/tahun (maksudnya, baik cengkeh, pala maupun macis, semuanya!) itu sama sekali tidak cukup untuk menyebabkan terbentuknya suatu ‘jalur’ yang ramai dilayari atau dapat menghasilkan keuntungan berlimpah bagi sebagian besar pelakunya – selain para pemegang monopoli atasnya, artinya, dan juga hanya selama ada permintaan pasar yang memadai. Dalam, misalnya sumber Cina, salah satu pasar dunia terbesar pada zaman sebelum kedatangan orang Eropa ke Asia, rempah-rempah Maluku itu tidak mendapatkan peran menonjol; sejauh dapat dilacak, volume permintaan akannya di India dan Timur Tengah zaman itu pun tidak teralu besar. Maka, secara historis (dan kontemporer!) terdapat banyak sekali komoditi lain yang diperdagangkan ke/dari semua pelosok Nusantara yang jauh lebih penting bagi terbentuknya ide ‘Nusantara’ itu. Gagasan ‘jalur rempah’ itu bahkan terkesan mengalihkan perhatian pembahasan jaringan perdagangan Nusantara historis pada yang pernah menjadi fokus para kompeni dagang Eropa awal zaman modern.
Yang kedua: Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa gagasan adanya ‘kearifan lokal sandang, pangan, dan papan yang berkelanjutan, yang sangat sadar akan keselarasan dengan alam sekitar’ tidaklah lebih daripada suatu proyeksi keinginan kekinian. Sebelum pertengahan abad ke-19 dampak eksploitasi alam semesta tidak mungkin terlalu berat karena (i) jumlah manusia yang ada belum menghasilkan tekanan tinggi atas sumber alam yang ada; dan (ii) karena teknologi penggarapan SDA belum terlalu memesatkannya. Akan tetapi, di mana ada peluangnya maka manusia sejak kapan pun berusaha (dan cukup sering berhasil!) menguras habis SDA yang diinginkannya – contoh terbaik yang melibatkan orang Nusantara adalah lenyapnya sekian banyak spesies megafauna di Madagaskar atau Zelandia Baru, dalam kurun waktu pendek setelah tibanya orang Austronesia di situ; atau, kalau mau yang lebih modern, berkurangnya teripang di Indonesia yang sudah pada abad ke-18, belum genap 100 tahun setelah permintaan pasaran Cina akannya meningkat, mendorong pelaut Sulawesi untuk mencarinya sampai ke Australia Utara. Saya pun dapat sekian banyak petunjuk atas hal ini dalam berbagai wawancara dengan dan pengamatan atas kegiatan pelaku berbagai ‘industri tradisional’ seperti pembuatan perahu kayu atau perikanan artisanal.
Yang diharpakan itu berupa presentase saja atau perlu juga makalah tertulis? Sebagaimana Anda dapat lihat di https://independent.academia.edu/HorstLiebner/Teaching-Documents, saya sering membuat presentase interaktif sebagai gantinya makalah tertulis: Pada zaman sekarang orang sepertinya malas membaca karangan ilmiah, tetapi perhatiannya dapat ditangkap dengan presentase-presentase yang menarik.