Episode ini membahas kebudayaan Indonesia saat ini, atau puluhan tahun ke belakang; tentang desa sebagai sumber harta karun kebudayaan yang memiliki potensi narasi lokal untuk seni-budaya kekinian. Dengan kayanya kebudayaan yang mereka miliki, maka dapat dinarasikan bahwa desa-desa di Indonesia bisa mewakili Indonesia dalam konteks diplomasi budaya di dunia.
Bahan sembako yang berada di kota-kota besar di Indonesia berasal dari desa. Desalah yang menjadi pemasok besar, yang menghidupi orang-orang kota. Sehingga, memajukan kota atau menyejahterakan Indonesia merupakan kerja-kerja yang dilakukan warga desa. Tanpa desa, Indonesia bukanlah siapa-siapa; tanpa desa, kota tak punya apa-apa. Sehingga, bergerak di desa atau kampung, sebenarnya, adalah juga bagian dari upaya untuk menghidupkan kota serta memperpanjang napas Indonesia.
Tidak saja memproduksi pangan untuk kota, desa juga merupakan mata air budaya bangsa. Mereka menjaga, merawat dan menghidupkan napas kebudayaan—yang mungkin mulai ditinggalkan masyarakat perkotaan.
“Solusi Lokal untuk Masalah Global” adalah satu cara untuk menelisik orang-orang yang beraktivitas di desa, yang memiliki dedikasi luar biasa. Mereka bertahan di tengah situasi apa pun, bahkan lebih tangguh dari siapa pun.
Cerlang Cemerlang menghadirkan dua narasumber yang bergerak dari desa, yaitu Wahyudi Anggoro Hadi (Lurah Panggungharjo, Bantul) dan Bunga Siagian (Seniman Jatiwangi Art Factory). Mereka meninggalkan kota dan bergerak dari desa, menggerakkan semua potensi yang ada di desa.
Wahyudi adalah seorang apoteker lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM). Pada 2012, ia memutuskan kembali ke desa dan menjadi Lurah Panggungharjo, selama dua periode sejak 2013. Banyak hal yang sudah ia lakukan untuk memajukan Desa Panggungharjo. Salah di antaranya adalah melalui BUMDes, seperti Kampoeng Mataraman, misalnya, yang ia sulap menjadi kampung wisata yang menghasilkan miliaran rupiah per tahun.
“Desa itu adalah masa depan dunia,” ucap Wahyudi. Menurutnya, ada tiga komoditas strategis dari desa yang menentukan arah dunia berjalan. Pertama, air bersih. Bila di kota meminum air bersih harus membeli (dan mahal), air bersih di desa dapat diperoleh secara cuma-cuma. Kedua, desa punya udara bersih. Untuk menghirup udara bersih, orang kota harus pergi ke pantai, ke gunung, atau lari ke desa. Ketiga, desa punya pangan sehat, tidak seperti kota. Sebab, hampir semua makanan yang dikonsumsi oleh warga kota pada hari ini bisa dipastikan telah terpapar bahan kimia berbahaya.
“Saya pulang ke kampung, ke desa, itu semata-mata pengen berkontribusi untuk menjaga tiga komoditas strategis tadi itu tetap terjaga,” lanjut Wahyudi.
Narasumber yang lain adalah pelaku budaya, seniman, dan penulis, Bunga Siagian. Berawal dari program residensi di Jatiwangi, Jawa Barat, Bunga menikah dengan salah seorang seniman di Jatiwangi. Bersama suaminya, Bunga pun tinggal di Jatiwangi.
Mengikuti jejak suaminya, Bunga menjadi anggota Jatiwangi art Factory (JaF) dan bergerak bersama-sama membesarkan salah satu kolektif seni rupa yang cukup berpengaruh di Indonesia tersebut. Dari konsistensi Bunga bersama suaminya dan JaF, popularitas Jatiwangi sebagai daerah penghasil tanah liat dan seniman pun semakin mengglobal.
JaF sudah berumur 15 tahun, dan berhasil membuat tanah liat di Jatiwangi tidak hanya memiliki nilai ekonomis, melainkan juga estetik. Menurut Bunga, desa juga ada yang tidak subur atau asri, ada juga yang kering, seperti Jatiwangi, misalnya. Namun, manusia desa punya cara untuk menyiasati keterbatasan itu sehingga mereka tanah yang tidak subur sekalipun bisa menjadi aset kebudayaan.