Kibasan tangan penari tradisional perempuan Bali itu mencengkeram seluruh sendi kehidupan. Mungkin demikianlah kalimat yang tepat untuk menggambarkan sosok Dewi Sri, yang menjadi simbol kesejahteraan; yang memberi manusia makanan dan kehidupan. Jejak kemuliaan itu termanifestasi dalam perilaku masyarakat Bali yang selalu mensyukuri kenikmatan kehidupan lewat ritus-ritus keagamaan.
Dewi Sri dipercaya sebagai dewi yang menguasai ranah dunia bawah dan juga bulan. Perannya mencakup segala aspek dewi ibu, yakni sebagai pelindung kelahiran dan kehidupan. Ia juga dapat mengendalikan bahan makanan di bumi, terutama padi: bahan makanan pokok masyarakat Indonesia. Maka, ia mengatur kehidupan, kekayaan dan kemakmuran. Karena ia merupakan simbol bagi padi, ia juga dipandang sebagai ibu kehidupan. Sering kali ia dihubungkan dengan tanaman padi dan ular sawah. Berkah darinya, terutama panen padi yang berlimpah, dimuliakan sejak masa kerajaan kuno di Pulau Jawa, seperti Majapahit dan Padjajaran.
Selain kesejahteraan, Dewi Sri juga mengendalikan kebalikannya, yaitu kemiskinan, kelaparan, hama penyakit dan, hingga batas tertentu, memengaruhi kematian.
Pengetahuan pengairan sawah juga muncul, yang dalam tradisi masyarakat Bali dikenal sebagai Subak. Subak merupakan tradisi budaya yang membentuk lanskap Pulau Bali. Subak telah hadir di Bali sejak abad ke-11, dan merupakan lembaga tradisional yang menerapkan filsafat Tri Hita Karana dalam aktivitasnya. Pada setiap subak terdapat Pura Subak, yang menjadi pusat spiritual dalam pengelolaan irigasi. Sejumlah ritual persembahan dan pertunjukan seni dilaksanakan di sana. Pura Subak adalah sebuah tempat, di mana petani mencari harmoni antara mereka dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Subak adalah hukum adat masyarakat yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani, yang mengelola irigasi di sawah. Kelestarian atau ketangguhan Subak tampak mulai terancam akibat pesatnya perkembangan pariwisata Bali yang telah membawa banyak perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya.
Tantangan atau ancaman baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kelestarian Subak dari era globalisasi berasal dari berbagai sumber, di antaranya pariwisata. Kehadiran video ini mengajak kita memikirkan kembali bagaimana Subak tetap bertahan sebagai produk kultural masyarakat Indonesia.
Tidak ada komentar