Pernah mendengar istilah desa di atas awan? Julukan ini disematkan untuk salah satu desa yang berada di Pegunungan Flores, Nusa Tenggara Timur, yaitu Dusun Wae Rebo. Hal ini dikarenakan dusun tersebut terletak di ketinggian 1.100 m di atas permukaan laut. Sejauh mata memandang, dusun Wae Rebo dikelilingi oleh gunung, hutan lebat serta awan yang membuatnya sangat indah dipandang dengan mata telanjang.
Meskipun terpencil dan harus menempuh perjalanan panjang untuk mengunjunginya, tetapi antusiasme para turis untuk berwisata ke Wae Rebo tak pernah surut. Selain tertarik akan keindahannya, mereka juga penasaran pada kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Desa ini ditinggali oleh masyarakat suku Manggarai, yang terkenal memiliki sederet upacara ritual sebagai ucapan syukur atas kehidupan yang sudah dijalani dalam periode waktu tertentu.
Rumah Adat Mbaru Niang
Hal pertama yang akan terlihat ketika menginjakan kaki di desa Wae Rebo adalah rumah-rumah berbentuk kerucut yang dikelilingi pemandangan hijau yang indah. Rumah kerucut tersebut merupakan rumah adat warisan leluhur suku Manggarai yang disebut dengan rumah adat Mbaru Niang.
Dulu, para leluhur membuat tujuh buah rumah yang didirikan mengelilingi compang, panggung alam berbentuk lingkaran yang menjadi simbol dari pusat aktivitas warga setempat. Di antara ketujuh rumah tersebut, terdapat satu rumah berukuran paling besar yang memiliki puncak yang sedikit berbeda dari enam rumah lainnya. Rumah tersebut disebut dengan rumah gendang/niang, yaitu rumah utama untuk menyelenggarakan pertemuan adat. Sementara itu, enam rumah lainnya disebut dengan rumah gena/rumah biasa.
Arsitektur Rumah Adat Mbaru Niang
Arsitektur Mbaru Niang memiliki filosofi yang menjadi dasar kehidupan sosial masyarakat Wae Rebo. Rumah Mbaru Niang merupakan wujud dari keselarasan manusia dengan alam dan cerminan fisik dari kehidupan sosial suku Manggarai. Mereka percaya bahwa lingkaran merupakan simbol keseimbangan sehingga pola lingkaran ini selalu diterapkan hampir di semua bentuk yang ada di desa tersebut, dari bentuk kampung sampai rumah adatnya.
Mbaru Niang berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga, yang masing-masing dihuni oleh enam hingga delapan anggota keluarga. Mbaru Niang terdiri dari lima lantai, yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Tiang utama dari rumah ini dibuat dari bahan kayu worok, sementara papan lantainya terbuat dari kayu ajang. Sedangkan balok-balok struktur rumah menggunakan kayu awu. Sekarang, mari kita simak fungsi-fungsi dari setiap lantai rumah Mbaru Niang ini.
- Lutur (lantai pertama) berfungsi sebagai tempat tinggal dan tempat keluarga berkumpul. Lantai ini terbagi menjadi tiga bagian. Ruang terluar adalah ruang keluarga, sedangkan ruang-ruang lainnya disekat dengan papan kayu yang berfungsi sebagai kamar keluarga yang tinggal di sana. Kemudian, ada dapur yang terletak di tengah Lutur.
- Lobo (lantai kedua) mempunyai fungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang sehari-hari.
- Lentar (lantai ketiga) kegunaannya adalah untuk menyimpan benih-benih tanaman untuk bercocok tanam.
- Lempa Rea (lantai empat) berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan dan bahan makanan untuk persediaan pada saat paceklik atau saat gagal panen.
- Hekang Kode (lantai kelima) digunakan sebagai tempat sesajian untuk leluhur masyarakat Wae Rebo.
Pada 2008, tiga rumah Mbaru Niang telah digantikan dengan bentuk yang berbeda sehingga hanya menyisakan empat rumah adat yang masih memiliki bentuk yang orisinil. Pada 2009 hingga 2011, masyarakat setempat serta beberapa tim yang melibatkan dua mahasiswa mulai membangun dan merekonstruksi ulang ketiga rumah tersebut.
Setelah pembangunan kedua tersebut, desa Wae Rebo semakin berkembang. Jumlah turis lokal dan asing yang berkunjung bertambah, , hingga pada 2013 desa ini masuk menjadi nominasi Aga Khan Award Pada 2015, Wae Rebo pun mendapatkan penghargaan UNESCO Pacific Award Heritage Conservation, penghargaan tertinggi dalam bidang konservasi warisan budaya.
Rumah Adat Mbaru Niang sekarang mempunyai keaslian bentuk fisik yang masih sama persis dengan bangunan yang didirikan oleh nenek moyang suku Manggarai. Pembangunan kembali rumah adat ini memberi pembelajaran kepada bangsa Indonesia tentang arsitektur bangunan rumah adat warisan para leluhur yang perlu dilestarikan dan diwariskan turun temurun.