Cut Kamaril Wardhani: Eksplorasi Kain Nusantara

Bagi kebanyakan orang, sehelai kain hanyalah bahan dasar dalam membuat pakaian. Tetapi, jika dipahami lebih dalam, kain adalah mahakarya yang dihasilkan dari proses panjang. Terdapat sebuah ide, gagasan, filosofi hingga sejarah yang tertuang di dalamnya, seperti yang terlihat dari aneka wastra Nusantara.

Wastra berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti sehelai kain. Tetapi, bukan sekadar helai kain biasa. Bagi Dr. Cut Kamaril Wardhani, kalau kita bicara soal wastra, kita akan bicara soal kain tradisional, mulai dari Sabang hingga Merauke. Jenisnya pun tak hanya sekadar batik atau tenun. Dari Aceh, misalnya, ada songket yang begitu terkenal dengan hasil sulamnya yang luar biasa. Begitu pula dengan daerah lainnya seperti Sumatera Barat, Jambi dan lainnya.

Karya Indah dari Proses yang Panjang

Menurut seniman wastra yang juga pernah menjadi Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan telah menulis buku berjudul Tekstil ini, wastra adalah kain yang dihasilkan berdasarkan desain permukaan. Misalnya batik, sulam, jumputan dan tapis. Semua itu masuk desain permukaan. Sudah ada kainnya, kemudian ditambahkan ragam hiasan hingga menghasilkan sebuah karya kain yang indah.

Selain itu, terdapat pula kategori kain yang dihasilkan dari desain struktur. Pada dasarnya, desain struktur lebih banyak kaitannya dengan benang. Jadi, tidak melihat kain dulu, tetapi membuat kain melalui benang-benang yang didesain, dihitung satu persatu, yang tentunya memerlukan kemampuan matematika yang cukup mendalam.

Melihat serangkaian proses yang unik ini, tentu kita sebagai masyarakat yang cinta akan Tanah Air harus lebih memperhatikan tiap proses untuk kemudian mencintai dan melestarikannya. Perlu diketahui bahwa satu lembar kain tak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Butuh waktu sekiranya satu atau dua bulan, bahkan hingga tahunan. Hanya dengan kesabaran, ketelitian dan kecintaan, wastra yang disusun dari rangkaian benang penuh makna dapat lahir.

Kain wastra tua yang dibuat oleh masyarakat adat Maumere Timur, Nusa Tenggara Timur, misalnya, membutuhkan waktu hingga empat tahun hanya untuk menghasilkan kain berukuran 9,75 m x 1 m. Wastra berbentuk Kain Dugo Raga ini digunakan sebagai penutup jenazah keturunan raja yang bisa awet hingga 120 hari.

Tak seperti membuat kain biasa, membuat Wastra harus melalui proses yang rumit. Dari persiapan benang, mengatur lungsin (pameningu), tenun awal (pababa tungu), hikungu hingga menenun.

Kain Tradisional Eksklusif

Wastra kerap dikenal sebagai kain tradisional Indonesia. Berbeda dengan kain kekinian yang umum dihasilkan dari mesin dan teknik yang berbeda, kain tradisional biasanya dibuat menggunakan alat manual atau dibuat langsung oleh tangan pengrajin. Hal inilah yang sejatinya membuat kain tradisional terlihat lebih eksklusif. Setiap wastra yang dihasilkan pengrajin pasti memiliki perbedaan, entah itu strukturnya, desainnya, benangnya atau perpaduan warnanya.

Kamaril mengakui bahwa kebanyakan orang pasti mengatakan lebih baik pakai print saja. Ia pun membenarkan, ketika di-print, prosesnya akan lebih cepat. Puluhan ribu meter kain bisa dihasilkan dalam waktu singkat. Tapi, bukan itu tujuan dari mempelajari wastra Nusantara. Jika kita tidak tahu ilmunya, kita tidak akan bisa mencintainya. Jadi, kenal dulu melalui ilmu pengetahuan, baru kemudian bisa jatuh cinta pada kainnya, dan bangga mengenakannya.

Salah satu contoh lain yang kerap kita temukan dalam perbedaan wastra dan kain modern ada pada karya batik. Banyak kain batik yang terbuat dari proses teknologi modern, tapi kain batik yang seperti itu bukan termasuk wastra. Contoh ragam wastra Nusantara antara lain blongket, songket, tenun, ulos, tapis, gringsing, jumputan, kebaya dan masih banyak lagi.

Memiliki Nilai Filosofis dan Historis

Bagi Kamaril, setiap kain wastra memiliki filosofi. Ada filosofi yang sangat dalam dari masing-masing wilayah. Penggunaan material yang berbeda menunjukkan filosofi yang berbeda pula. Jadi, bukan hanya warna dan motif yang membedakan satu wastra dari wastra lainnya. Ada nilai filosofis yang mencerminkan karakter budaya bangsa pada setiap lembar wastra.

Di dalam wastra juga terkandung nilai sejarah. Hal ini berkaitan dengan makna dan fungsi yang melekat pada kain wastra. Masing-masing kain wastra punya akar sejarah yang kuat. Ada yang menunjukkan status sosial, mahar perkawinan dan busana upacara adat.

Bagi masyarakat Bali Aga di Tenganan, Bali, contohnya, wastra berupa tenun Gringsing dipercaya punya khasiat penyembuhan. Sementara itu, di Sumatera Selatan, benang emas yang digunakan pada songket merupakan simbol kejayaan Kerajaan Sriwijaya pada masa itu.

Melihat filosofi dan sejarah pada setiap helai kain, tak heran jika kemudian wastra tidak hanya dikagumi berkat keindahan visualnya. Ada proses panjang dan kecintaan di dalamnya hingga bisa menghasilkan kain yang luar biasa.

Karenanya, sebagai generasi muda, kecintaan dan motivasi untuk mau mencintai kain wastra ini harus kita tunjukkan melalui perilaku. Perilaku bahwa kita itu cinta, ingin melestarikan dan mengembangkan. Ketika kita punya batik, ya pakai batiknya. Begitulah pesan Kamaril.

Inspirasi Lainnya:

JADIKAN PKN LEBIH BAIK LAGI

Kami terus berupaya memberikan sajian acara yang berkualitas dengan mengangkat Kebudayaan Nasional untuk dapat lebih dikenal secara luas. Bantu kami menjadi lebih baik dengan mengisi survey sebagai bahan evaluasi di masa mendatang.

ISI SURVEYNYA DI SINI!